Tuesday, 7 March 2017

BIOGRAFI TOKOH NASIONAL





Biografi Ir. Soekarno - Pahlawan Nasional
Ir. Soekarno (1901 - 1970)


Ir Soekarno
Biografi Ir. Soekarno Secara Singkat
Lahir: Surabaya, 6 Juni 1901
Wafat: Jakarta, 21 Juni 1970
Dimakamkan: Kota Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan: Indonesia
Anak-anak: 
  • Putra: Guruh Soekarnoputra, Guntur Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Totok Suryawan,
  • Putri: Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini Soekarno,
Pasangan/Istri: 
  • Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
Pendidikan:
  • Sekolah Dasar Bumi Putera
  • HBS (Hoogere Burger School)
  • Technische Hoogeschool, sekarang ITB
Penghargaan:
  • Penghargaan Perdamaian Lenin (1960)
  • Bintang Kehormatan Filipina (1965)
  • Doktor Honoris Causa dari 26 Universitas
  • The Order Of The Supreme Companions of OR Tambo (Presiden Afsel - 2005)
Orangtua: Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu)
Gelar Pahlawan: Pahlawan Nasional
Biografi Ir. Soekarno Lengkap
Ir. Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Ir. Soekarno adalah Presiden RI pertama yang dikenal sebagai tokoh proklamator bersama Dr. Mohamad Hatta. Pada tahun 1926, beliau lulus dari Technische Hoge School, Bandung (sekarang ITB). Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) untuk mencapai kemerdekaan Kharisma dan kecerdasan beliau membuat dirinya terkenal sebagai orator ulung yang dapat membangkitkan semangat rakyat. Belanda merasa terancam dengan sikap nasionalisme beliau. Pada Desember 1929, Soekarno dan tokoh PNI lainnya ditangkap dan dipenjara. PNI sendiri dibubarkan dan berganti menjadi Partindo. Perjuangan beliau terus berlanjut setelah dibebaskan, tetapi pada Agustus 1933, Proklamator kemerdekaan RI ini kembali ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores, lalu dipindahkan ke Bengkulu. 
Soekarno dibebaskan ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda. Jepang meminta Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) untuk kepentingan Jepang. Namun, PUTERA justru lebih banyak berjuang untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, Jepang membubarkan PUTERA. Ketika posisinya dalam Perang Asia Raya mulai terdesak pasukan Sekutu, Jepang mendirikan BPUPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara yang disebut Pancasila. 
Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau diangkat menjadi ketua PPKI. Tidak lama kemudian Jepang memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Ho Chi Minh, Vietnam, untuk menemui Jenderal Terauchi guna membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah kembali ke Indonesia, Soekarno dan Hatta diculik para pemuda yang sudah mendengar berita kekalahan Jepang atas Sekutu dan dibawa ke Rengasdengklok. Akhirnya, tercapai kesepakatan sehingga Soekarno-Hatta segera kembali ke Jakarta mempersiapkan Naskah Proklamasi. Bersama Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI atas nama rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.

Kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia, bukan pemberian Jepang. Satu hari kemudian, beliau dilantik menjadi Presiden RI yang pertama. Beliau memerintah selama 22 tahun. Soekarno meninggal saat berusia 69 tahun dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
1. Oetari Tjokroaminoto, Istri Pertama Soekarno

Istri pertama Soekarno adalah Oetari Tjokroaminoto (Siti Oetari), putri kandung dari HOS Tjokroaminoto yang menjadi panutan sekaligus guru besar Soekarno. Dalam kisah percintaannya dengan Oetari, sebenarnya Bung Karno menikahi Oetari tanpa dasar cinta, karena dirinya sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. 

Meski akhirnya Soekarno mau dan benar-benar tulus untuk menikahi Oetari, namun niat Soekarno sebenarnya adalah untuk meringankan beban sang guru Tjokroaminoto yang kala itu ditinggalkan oleh almarhum istri tercintanya.



Diketahui Soekarno menikahi putri Tjokro tersebut pada tahun 1921. Setelah menikah, dunia keduanya pun berbanding terbalik. Soekarno yang saat itu berusia 20 tahun, lebih sibuk dalam mengurus pergerakan nasional. Sementara Oetari yang masih berusia 16 tahun, masih memiliki sifat kanak-kanak. Jadilah hubungan pasangan suami-istri ini seperti brotherzone.

Bisa ditebak, pernikahan keduanya hanya sebatas seumur jagung. Setelah pindah dari Surabaya dan pamit kepada guru besarnya, Soekarno melanjutkan kuliah di Bandung, dan tak lama setelah melangsungkan kuliah, ia pun menceraikan Oetari. 

Keputusan cerai ini memang berat untuk diambil oleh beliau, namun setidaknya jauh lebih baik dibandingkan untuk tetap melanjutkan hubungan perkawinan yang sudah terasa semakin hambar.







2. Inggit Garnasih

Setelah pindah ke Bandung dan tak lama setelah menceraikan Oetari, Soekarno tertarik dengan sosok perempuan ayu berusia matang dengan perawakan geulis khas mojang Sunda. 

Ya, dialah Inggit Garnasih, yang namanya dijadikan jalan di salah satu wilayah pertokoan di pusat Kota Bandung. Saat itu, Soekarno yang berstatus mahasiswa masih berumur 20 tahun, sementara Inggit yang kelahiran tahun 1888, sudah berusia 33 tahun jauh lebih tua dibandingkan Bung Karno.



Karena kecintaannya pada Soekarno dan memburuknya hubungan tali pernikahannya dengan sang suami, Sanusi, Inggit pun rela menemani Soekarno kemana saja dan tekun mendengarkan apa kata Bung Karno. Pernikahan mereka berlangsung selama 20 tahun, meskipun tidak dikaruniai anak. 

Namun kisah cinta Bung Karno dengan Inggit Garnasih harus berakhir pada tahun 1943, dimana Soekarno telah menemukan tambatan hati baru dalam sosok wanita bernama Fatmawati, beliau pun terpaksa menceraikan Inggit karena dirinya tidak mau dipoligami.







3. Kisah Cinta Soekarno dan Fatmawati

Saat dibuang oleh Belanda ke Bengkulu, Bung Karno menemukan sesosok wanita cantik bernama Fatmawati. Kondisi usianya kini berbalik dengan Inggit Garnasih. Soekarno lebih tua 22 tahun ketimbang Fatmawati yang saat itu masih sangat muda, baru berusia 20 tahun.

Soekarno pun mengutarakan niatnya untuk menjadikan Fatmawati, putri seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu, sebagai istri keduanya. Namun apa daya, Inggit menolak mentah-mentah dan lebih memilih kembali ke Bandung.

Dari kesekian daftar istri-istri Soekarno, Fatmawatilah yang paling dikenal dan masuk ke dalam kurikulum sejarah Indonesia, karena perannya dalam proklamasi kemerdekaan republik ini. Maka pantaslah bila Fatmawati disebut sebagai Ibu Proklamasi. 



Ia pulalah yang menjadi Ibu dari beberapa politisi yang mewarisi darah Soekarno. Adapun kelima anaknya adalah Guntur Soekarnoputra, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan seniman Guruh Soekarnoputra.

Pernikahan keduanya kandas setelah Soekarno meminta hal yang sama kepada Fatmawati, yakni rela untuk di kawin madu. Terkejutlah Fatma dan dengan sangat kesal dirinya tak mau menyepakati permintaan sang suami. 

Tiba-tiba dalam pikirannya, Fatmawati pun teringat dengan sosok Inggit, istri Soekarno yang dahulu kala direbut olehnya. Dikabarkan, Fatmawati meminta maaf sambil mencium kaki Inggit untuk menunjukkan penyesalannya yang paling dalam. Inggit pun membalasnya dengan tangis haru sambil memeluk erat dirinya.






4. Hartini (1953-1970)

Pada saat dipersunting oleh Soekarno di tahun 1953, Hartini berusia 29 tahun dan berstatus janda lima orang anak. Pertemuan keduanya berlangsung saat Bung Karno mengadakan kunjungan kerja ke Candi Prambanan, Jawa Tengah. Namun ada pula yang berpendapat kalau keduanya pernah bertemu di Salatiga setahun sebelumnya.


Karena statusnya yang menggantikan peran Fatmawati sebagai Ibu Negara, maka banyak aktivis wanita yang lebih membela Fatmawati. Alasannya jelas, Fatma sudah jauh lebih dikenal sebagai Ibu Negara selama belasan tahun lamanya.

Meski mengetahui tindak tanduk Sang Putra Fajar yang sering terpikat dengan wanita lain, namun Hartini panjang sabar dan tetap mempertahankan rumah tangganya hingga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 21 Juni 1970.






















5. Kartini Manoppo (1959-1968)


Wanita yang berprofesi sebagai pramugari Garuda Indonesia tersebut sempat memikat hati sang Bapak Proklamator saat melihat lukisan karya Basuki Abdullah yang objeknya tidak lain adalah Kartini sendiri.


Karena statusnya yang berasal dari keluarga terpandang di Bolaang Mongondow, Sulawesi Tenggara, Kartini lebih memilih untuk menutup kisah pernikahannya serapat mungkin. Diketahui, dari hasil pernikahan Soekarno dan Kartini, lahir seorang putra bernama Totok Suryawan Sukarno pada tahun 1967.


























6. Ratna Sari Dewi, Istri Bung Karno paling Cantik

Sejarah mencatat Ratna Sari Dewi adalah wanita kelima yang dinikahi oleh Sang Putra Fajar dirinya pun menjadi istri paling cantik dalam kisah cinta bung karno. Dirinya adalah wanita berkebangsaan Jepang yang memiliki nama asli Naoko Nemoto. 

Lahir di Tokyo, 6 Februari 1940, Dewi dipinang oleh Presiden Soekarno ketika dirinya masih berusia 19 tahun. Padahal saat itu, sang Presiden sudah berusia 57 tahun. Perbedaan Usia yang sudah terlampau jauh diantara mereka.

Foto Ratna Sari Dewi (Kiri) Anaknya Kartika Sari Dewi bersama Kakek Saya Soekarno (Kanan)


Pertemuan keduanya berawal dari kunjungan Bung Karno ke Tokyo. Kala itu, beliau menginap di Hotel Imperial dan dikenalkan dengan sosok Naoko alias Dewi.

Rumor menyebutkan bahwa Dewi adalah geisha, namun berkali-kali gosip tersebut dibantah keras. Ia hanya mengaku berstatus pelajar dan pernah bekerja sebagai seniman industri hiburan di Tokyo sebelum dipersunting oleh Presiden Soekarno.

Dari pernikahan Soekarno dengan Ratna Sari Dewi, lahirlah seorang putri cantik yang diberi nama Kartika Sari Dewi Soekarno.


















7. Perjalanan Cinta Presiden Soekarno dengan Haryati

Sebagai Staf Sekretaris Negara di Bidang Kesenian, sosok Haryati (Hariyatie) dikenal sangat akrab dengan sang proklamator Indonesia. Apalagi, bila dilihat secara fisik, penampilan Haryati memang sangat sempurna.


Kala itu, meski Haryati masih berusia 23 tahun dan dirinya pun sudah punya pacar alias milik kekasih orang lain, Soekarno tak gentar dan tak sedikitpun takut untuk merebut cintanya. Haryati yang luluh hatinya kemudian resmi dinikahi oleh Soekarno pada 21 Mei tahun 1963. 

Mirisnya, baru menjelang masuk tiga tahun usia pernikahan mereka, Soekarno memilih untuk menceraikan Haryati karena dirinya sudah tak merasa cocok lagi dengannya.
























8. Yurike Sanger

Dari berbagai foto yang beredar, pesona kecantikan Yurike Sanger sering disebut-sebut sebagai reinkarnasi Pevita Pearce di masa lampau. Kala itu, status Yurike adalah pelajar siswi SMA yang ikut dalam skuad anggota Paskibra di Istana Negara. Meski rentang usia yang sudah terpaut empat puluh tahun lebih tua, namun Soekarno sama sekali tak mengurungkan niatnya.

Yurike dilamar resmi oleh Bung Karno pada tahun 1964 dan mereka menjalani kisah cinta romantis dalam mahligai perkawinan mereka selama hampir 3 tahun. Namun kisah indah ini harus berakhir pada tahun 1967, dimana kekuasaan Soekarno digulingkan paksa oleh rezim Soeharto.


Situasi negara saat itu pun semakin tak terkendali setelah meletusnya pemberontakan G30S PKI. Tak ingin terjadi sesuatu terhadap keselamatan Yurike, dirinya pun diminta agar Yurike bersedia untuk diceraikan oleh Bung Karno sendiri. 

Dan Yurike harus kembali ke Jepang, mengingat kondisi politik di Indonesia semakin memanas ditambah lagi kesehatan Bung Karno yang semakin memburuk. Meski pahit bagi Yurike dan Bung Karno, mereka pun akhirnya berpisah secara baik-baik.








9. Heldy Djafar, Istri Soekarno yang Terakhir

Inilah istri terakhir dan kesembilan Bung Karno. Saat dipersunting pada tahun 1966, Bung Karno sudah berusia 65 tahun, sementara Heldy, seorang gadis asal Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, berusia 18 tahun.

Akibat situasi politik yang semakin kacau dan ditahannya 'Presiden' Soekarno oleh Soeharto, maka Heldy memutuskan untuk berpisah dengan Sang Putra Fajar. Meski Soekarno bersikeras agar Heldy tetap bertahan, namun sang gadis memilih untuk menikahi pria lain. Dan pada Tahun 1970, saat sedang hamil tua, Heldy mendapat kabar duka bahwa suaminya, sang proklamator Indonesia sudah wafat.


Sahabat kejadiananeh.com Itulah daftar sembilan istri Soekarno yang diyakini secara umum oleh masyarakat Indonesia dan tercatat dalam arsip nasional. Meski begitu, ada banyak teori dan klaim lain yang mengatakan Bung Karno sebenarnya memiliki istri yang jauh lebih banyak dari angka yang telah disebutkan diatas. 

Namun bagi saya pribadi tak penting berapapun jumlah istri-istri Soekarno, bapak proklamator kita. Yang pasti, tanpa pengorbanan beliau beserta para pejuang lainnya, mungkin sampai detik ini kita tak dapat menikmati indahnya kemerdekaan Indonesia.








Profil Mohammad Hatta 
Lahir: Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Meninggal: Jakarta, 14 Maret 1980
Dimakamkan: TPU Tanah Kusir, Jakarta
Pasangan: Rahmi Rachim
Anak-anak:
  • Meutia Hatta
  • Gemala Hatta
  • Halides Nuriah Hatta
Pendidikan:
  • Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau
  • Europeesche Lagere School (ELS), Padang
  • Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang 
  • Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia 
  • Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda 
Orang tua: Muhammad Djamil (Ayah) & Siti Saleha (Ibu)
Penghargaan:

  • Pahlawan Nasional
  • Proklamator Indonesia
  • Bapak koperasi Indonesia
  • Doctor Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965
  • The Founding Father's of Indonesia
Biografi Mohammad Hatta
Dr. Mohammad Hatta bernama asli Muhammad Athar. Beliau salah seorang tokoh proklamator Indonesia sekaligus Wakil Presiden Pertama RI. Peran yang besar di bidang ekonomi, khususnya koperasi membuat beliau mendapat julukan Bapak Koperasi Indonesia. Mohammad Hatta menyelesaikan pendidikan di Handels Hogere School (sekolah tinggi ekonomi) di Rotterdam, Belanda, pada tahun 1932. Di Belanda, beliau menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi pelajar Indonesia di Belanda yang berjuang mencapai kemerdekaan. Ketika berada di kongres internasional, beliau memperkenalkan perjuangan Indonesia melawan Belanda. Kegiatan ini membuat beliau ditangkap Belanda pada September 1927 karena dianggap memprovokasi rakyat untuk memberontak.

Pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan membangun PNI-Baru bersama Sutan Syahrir. Namun, akibat kegiatan politiknya tersebut, tiga tahun kemudian beliau dibuang ke Digul, Banda Naira, dan Sukabumi. Pada masa pendudukan Jepang, beliau dibebaskan dan ikut memimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan PPKI. Selama Perang Kemerdekaan, beliau pernah menjadi perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau dilantik menjadi Wakil Presiden RI hingga mengundurkan diri tanggal 1 Desember 1956.
Mohammad Hatta yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Hatta adalah penggagas politik luar negeri bebas dan aktif  yang tidak berpihak kepada salah satu blok yang ada di dunia saat itu, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Beliau juga seorang yang sangat sederhana dan jujur. Beliau meninggal tanggal 14 Maret 1980 dan sesuai permintaannya dimakamkan di TPU (Taman Pemakaman Umum) tanah Kusir, Jakarta, agar dapat selalu dekat dengan rakyat.










Biografi Radjiman Wedyodiningrat - Pahlawan Nasional

 



Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat
Informasi pribadi
Tanggal Lahir: 21 April 1879 
Tempat lahir: 
Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal : 20 September 1952 (73 th) 
Ngawi, Jawa Timur, Indonesia
Ayah: Sutodrono
Penghargaan: 
Gelar Pahlawan Nasional Indonesia
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Beliau adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan bangsa yang dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKl).

Dr Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat, lahir di Yogyakarta pada 21 April 1879. Ia berasal dari keluarga rakyat biasa. Bapaknya, Sutodrono, hanya seorang penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta.

Pendidikan

Pendidikan Radjiman dimulai dengan model pembelajaran hanya dengan mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan mendapat gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Ia juga pernah belajar di Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika.

Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula beliau secara khusus belajar ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu banyak Ibu-Ibu yang meninggal karena melahirkan.

Sejak tahun 1934 ia memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal dunia karena dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi situs sudah berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai Bung Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.

Boedi Oetomo sampai BPUPKI



Dr. Radjiman adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketuanya pada tahun 1914-1915.

Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.

Pada tanggal 29 Mei 1945 yakni pada sidang BPUPKI, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.


Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.



Raden Suwiryo, Walikota Pertama Jakarta

Raden Suwiryo (Foto: Istimewa)
Dede Suryana
Raden Suwiryo adalah kepala daerah pertama Jakarta, pada masa pendudukan Jepang. Sebelumnya posisi walikota ditempati oleh seorang pembesar Jepang bernama Tokubetsyu Sityo dan Suwiryo sebagai wakil walikota I serta Baginda Dahlan Abdullah sebagai wakil walikota II.
Pria kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 ini merupakan tokoh pergerakan Indonesia. Suwiryo pernah menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Wakil Perdana Mentri pada Kabinet Sukiman.
BERITA REKOMENDASI


Suwiryo menamatkan AMS dan kuliah di Rechtshogeschool namun tidak selesai. Dia sempat bekerja di Centraal Kantoor voor de Statistik, bergiat di bidang partikelir, menjadi guru Perguruan Rakyat, kemudian memimpin majalah Kemudi. Menjadi pegawai pusat Bowkas "Beringin", sebuah kantor asuransi dan menjadi pengusaha obat di Cepu, Jawa Tengah.
Di masa mudanya, Suwiryo aktif dalam perhimpunan pemuda Jong Java lalu membawa dirinya aktif di PNI. Setelah PNI bubar pada 1931, Suwiryo turut mendirikan Partindo. Pada zaman pendudukan Jepang, Suwiryo aktif di Jawa Hokokai dan Putera. Proses Suwiryo menjabat sebagai wali kota dimulai pada Juli 1945. Dengan kapasitasnya sebagai wakil walikota, secara diam-diam Suwiryo melakukan nasionalisasi  pemerintahan dan kekuasaan kota.
Peralihan kekuasaan dari Jepang
Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja ditutup-tutupi. Namun Suwiryo, dengan berani menanggung segala akibat menyampaikan kekalahan Jepang ini kepada masyarakat Jakarta dalam suatu pertemuan.
Hingga demam kemerdekaan pun melanda Ibu Kota, termasuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Perpindahan kekuasaan dari Jepang dilakukan tanggal 19 September 1945 dan Suwiryo ditunjuk sebagai Walikota Jakarta pada 23 September 1945.
Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan, Suwiryolah salah seorang yang bertanggung jawab atas terselenggaranya proklamasi di kediaman Bung Karno. Semula akan diselenggarakan di Lapangan Ikada (kini Monas) tapi karena balatentara Jepang masih gentayangan dengan senjata lengkap, maka dipilihlah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur.
Selain berperan dalam terselenggaranya proklamasi kemerdekaan, Suwiryo dari PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda, ikut menggerakkan massa menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan tekad rakyat siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa di Ikada ini dihadiri bukan saja oleh warga Jakarta tapi juga Bogor, Bekasi, dan Karawang.
Suwiryo sempat ditangkap pasuka NICA pada 21 Juli 1947 di kediamannya, kawasan Menteng. Selama lima bulan dia disekap di daerah Jalan Gajah Mada kemudian pada November 1947 dia diterbangkan ke Semarang untuk kemudian ke Yogyakarta. Kala itu Presiden Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta hijrah ke Yogyakarta.
Suwiryo diculik NICA, lantaran terbilang vokal. Dia memilih tetap berada di Jakarta serta menginstruksikan kepada semua pegawai pamongpraja agar tetap tinggal di tempat menyelesaikan tugas seperti biasa.
Di kota perjuangan, walikota pertama Jakarta ini disambut besar-besaran oleh Panglima Besar Sudirman yang datang ke stasion Tugu. Di sana Suwiryo ditempatkan di Kementrian Dalam Negeri RI sebagai pimpinan Biro Urusan Daerah Pendudukan (1947-1949). Pada September 1949, Suwiryo kembali ke Jakarta sebagai wakil Pemerintah pada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 17 Februari 1950 Presiden RIS, Sukarno mengangkatnya kembali sebagai Walikota Jakarta Raya. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo. Jabatan walikota diganti oleh Syamsurizal dari Masyumi.
Setelah berhenti menjadi Wakil PM, kemudian Suwiryo diperbantukan beberapa saat di Kementrian Dalam Negri. Setelah itu Suwiryo menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Umum merangkap Presiden Komisaris Bank Industri Negara (BIN) yang kemudian dikenal dengan Bapindo.
Suwiryo meninggal pada 27 Agustus 1967 pada usia 64 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.








Biografi dr Moewardi - Pahlawan Nasional


Dr. Moewardi Lahir di Pati, Jawa Tengah, 1907, Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dan seorang dokter lulusan STOVIA. Setelah lulus, beliau melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain itu Ia adalah ketua Barisan Pelopor tahun 1945 di Surakarta dan terlibat dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.

Di Solo, dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi PKI. Pada peristiwa Madiun dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang karena diculik dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur Soeryo.


Biografi

Muwardi dilahirkan di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, Rebo Pahing 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Sebagai putera ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Sebuah kedudukan yang sangat berwibawa pada jaman itu. Muwardimemiliki 13-saudara, laki-laki dan perempuan. Dari keturunan Sastrowardojo yang hidup ada yang menjadi pegawai Pamong Praja, ada juga tetap menjadi wiraswasta saja. Diantaranya menjadi seorang analis kesehatan yaitu Supardi, Pemimpin Laboratorium Kesehatan Daerah Jogjakarta sekitar tahun 1940-1950 yang merupakan kakak dari Muwardi. Analis kesehatan yang lainnya adalah adik Muwardi yaitu Darsono.

Menurut silsilah, dari pihak ayah Muwardi masih keturunan langsung dari Raden Sunan Landoh atau Syeh Jangkung sedangkan dari pihak Ibu Muwardi masih keturnan Ario Damar (Bupati Palembang). Namun dari ketigabelas bersaudara ini ada tiga yang meninggal saat masih kecil yaitu : Soenardi, Tarnadi dan Soedewi. Muwardi sangat beruntung lahir dari golongan ningrat sehingga tak heran, Muwardi dan kakak adiknya dapat menikmati berbagai fasilitas salah satunya adalah pendidikan yang layak dan bermutu.

Pada tahun 1913 Bapak Sastrowardojo pindah ke Desa Jakenan untuk mengajar di Sekolah Rakyat Bumi Putera, karena kepintarannya Muwardi dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Melihat kepandaian Muwardi dan rasa sayang jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School di Pati.

Setamat dari ELS tahun 1921 ayahnya meminta Dr. Umar di Cilacap (Ayah dari Mayjen Ernst Julius Magenda-Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) memberi rekomendasi agar Moewardi dapat masuk ke STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Jakarta. Pada jaman itu, tidak hanya kecerdasan otak yang dapat mengantarkan seseorang untuk menikmati pendidikan namun diperlukan juga rekomendasi dari seseorang yang terpandang. Hampir 12 tahun waktu yang diperlukan oleh Muwardi untuk dapat mendapatkan ijazah dokternya, bukan karena bodoh.

Keaktifannya di dunia mahasiswa dan kepanduanlah yang menyebabkan Muwardi harus menunda-nunda kelulusannya. Meski dirasa berat dan membutuhkan waktu yang cukup lama (baru lulus 1 Desember 1933), namun seharusnya ijazah tersebut sudah dua tahun terdahulu (1931) diberikan kepada Muwardi. Kecerdasan Moewardi masih diingat oleh para gurunya di STOVIA. Seorang gurunya bahkan menawarkan jabatan sebagai Beroeps-Assistant atau Asisten Proffesor pada Geneeskundige Hoge School (Sekolah Tinggi Kedokteran bagian Hidung, Kerongkongan dan Telinga).

Karir

Perjalanan pendidikan dr Moewardi dimulai pada 1926, beliau tercatat sebagai mahasiswa tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pada tahun 1931.

Setelah 5 tahun berpraktik sebagai dokter, dr Moewardi kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia resmi menjadi dokter spesialis pada tahun 1939.

Yang patut dibanggakan, dr Moewardi tak hanya aktif sebagai dokter, namun ia juga dikenal pandai pencak silat dan aktif dalam bidang kepanduan. Dr Moewardi merupakan pemimpin di kepanduan Jong Java Padvinderij.

Pada era persiapan Proklamasi Kemerdekaan RI, dr Moewardi turut mempersiapkan pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi yang dilakukan di rumah Soekarno.

Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, dr Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor (kemudian berubah nama menjadi Barisan Banteng), menggantikan Bung Karno yang diangkat menjadi presiden. Pada awal tahun 1946, dr Moewardi memindahkan Barisan Banteng dari Jakarta ke Solo akibat semakin memanasnya situasi politik dan keamanan di Jakarta saat itu.

dr Moewardi kemudian terjun ke dunia politik dengan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada Agustus 1948 untuk melawan aksi-aksi anti pemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). dr Moewardi diculik pada 13 September 1948, saat menjalankan praktik sebagai dokter di RS Jebres, Solo. Hingga kini ia tak pernah terlihat kembali dan hilang secara misterius.



Abdul Latief Hendraningrat, mungkin tak banyak yang mengenal sosok pahlawan satu ini. Lahir di Jakarta, 15 Februari 1911. Beliau adalah pengerek dari sang Saka Merah Putih saat Kemerdekaan Indonesia.

Sebelumnya banyak desas desus mengenai siapa pengibar sang Saka Merah Putih. Setidaknya sebelum adanya seseorang yang mengaku sebagai Pengibar bendera beberapa pada detik-detik proklamasi 1945 waktu lalu, dan dalam kenyataannya Bapak Latief ini merupakan pengibar yang sebenarnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sekjen DPP Legiun Veteran, Laksamana Muda TNI (Purn) Wahyono S K yang menyatakan bahwa Ilyas Karim bukanlah pengibar pertama dan pendapat ini dibenarkan oleh Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam.



Abdul Latif Hendraningrat yang pada saat menjelang pelaksanaan pembacaan teks proklamasi 1945, adalah anggota PETA dan berpangkat Cudacho (komandan Kompi) dan karenanya beliau ditunjuk menjadi penanggung jawab keamanan upacara. dan pada kesempatan itu pulalah, beliau yang mengibarkan Bendera (pusaka) dengan didampingi oleh Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari barisan pelopor.
Bapak Abdul Latief Hendraningrat pada saat menjadi Mahasiswa Sekolah tinggi Ilmu Hukum ini telah mengajar di berbagai sekolah menengah swasta dan pernah dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda ke world Fair di Newyork sebagai ketua rombongan tari. Beberapa sekolah yang pernah diajarnya antara lain sekolah-sekolah yang di kelola oleh Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat 
Dalam masa pendudukan Jepang, Abdul Latief Hendraningrat giat dalam Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo), yang selanjutnya beliau menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Dalam masa setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pak Abdul Latief Hendraningrat terlibat dalam berbagai pertempuran. Kemudian menjabat komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta (1948). Setelah berhasil keluar dari Yogyakarta yang sudah terkepung, ia melakukan gerilya. Setelah penyerahan kedaulatan,  Pak Abdul Latief Hendraningrat mula-mula ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian ditunjuk sebagai atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke Washington hingga tahun 1956. Sekembalinya di Indonesia ia ditugaskan memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini menjadi (Seskoad). Jabatannya setelah itu antara lain rektor IKIP Negeri Jakarta (1965). Pada tahun 1967 Hendraningrat memasuki masa pensiun dengan pangkat brigadir jenderal. Sejak itu ia mencurahkan segala perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan organisasi Indonesia Muda.






















Suhud Sastro Kusumo, Si Pengibar Bendera Pertama


KOMPAS.com — Siapa sebenarnya lelaki bercelana pendek pengibar Sang Saka Merah Putih saat detik-detik Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945? Ilyas Karim mengklaim lelaki itu adalah dirinya. Sementara sejumlah catatan sejarah merujuk pada sosok Suhud, bukan Ilyas.


Dalam buku yang diterbitkan pusat sejarah ABRI disebut, lelaki bercelana pendek itu adalah Suhud Marto Kusumo. Irawan Suhud, putra kelima Suhud, meralat nama lengkap ayahnya. "Yang benar Suhud Sastro Kusumo," kata dia seperti dilansir Tribunnews, Kamis (24/8/2011).
Irawan menyampaikan, keluarga besarnya tersinggung karena sang ayah diklaim oleh Ilyas Karim, lelaki sepuh yang kini mendapatkan apartemen di Kalibata lantaran mengaku sebagai pengerek bendera pertama.
Irawan menyatakan, ia siap membuka fakta-fakta sejarah untuk membuktikan kalau ayahnya adalah pria bercelana pendek pada peristiwa bersejarah itu. Dalam foto yang diabadikan 66 tahun lalu terlihat ada empat orang di sekitar bendera.
Menurut Irawan, berdasarkan buku-buku sejarah, lelaki bertopi di sisi kiri ayahnya adalah Latif Hadiningrat, orang dekat Bung Karno. Sementara dua perempuan di sisi kanan ayahnya adalah istri Bung Karno, Fatmawati, dan wartawati SK Trimurti. Keempatnya telah meninggal. Irawan menuturkan, ayahnya meninggal pada 1986 di usia 66 tahun.
Keluarga tokoh-tokoh itu, kata dia, masih hidup sampai sekarang. Mereka bisa memberikan klarifikasi atas klaim Ilyas. "Kami tak akan menuntut Ilyas Karim. Tapi kami ingin meluruskan sejarah yang sebenarnya, orangtua kami adalah yang dimaksudkan dalam gambar itu. Para sejarawan juga kaget, ayah kami diklaim orang lain. Silakan Pak Irawan datang ke Pusat Sejarah ABRI," tuturnya.
"Atau, yang paling gampang, silakan beliau pergi ke Gedung Joeang 31. Di sana, ada satu ruangan, ada gambar yang mengingatkan tentang persitiwa 17 Agustus 1945, dan ada namanya tertera di situ. Kita hanya mau membela hak bapak, kita harus menjaga nama baik bapak, jangan ganggu keluarga kami," tuturnya lagi.
Irawan mengaku tak masalah bila kini Ilyas Karim, sebagai pejuang, mendapat hadiah sebuah apartemen di Kalibata oleh Wakil Gubernur DKI Priyanto. Namun, tidak dengan mengklaim dirinya sebagai orangtuanya.
Ilyas Karim mendadak tenar. Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 13 Desember 1927, ini diwartakan media sebagai sosok pejuang yang terabaikan. "Ya, sayalah orang bercelana pendek yang ikut mengibarkan bendera Merah Putih. Hanya saya yang masih hidup," kata Ilyas dalam sebuah kesempatan.
Atas pengakuannya itu, Ilyas yang tinggal di pinggir rel di daerah Kalibata memperoleh satu unit apartemen di dekat rumahnya. Hadiah yang diberikan pengembang apartemen tersebut diberikan secara simbolis oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Priyanto.
"Bapak kami ya bapak kami. Dalam buku yang disusun oleh Pusat Sejarah (Pusjarah) ABRI ditulis Nugroho Notosutanto, terangkum cerita para pelaku sejarah, termasuk (peran) ayah saya dalam peristiwa detik-detik kemerdekaan bangsa ini. Buku itu berjudul Detik-detik Proklamasi," Irawan menegaskan.
Bantahan soal sosok lelaki bercelana pendek pertama kali disampaikan Fadli Zon, politisi Partai Gerindra yang juga pemerhati sejarah.
"Saya punya buktinya. Buku-buku sejarah yang saya miliki mengungkap, pria bercelana pendek itu bernama Suhud," kata Fadli.
Di perpustakaan pribadinya, Fadli menyimpan buku-buku kuno, juga barang-barang kuno, termasuk buku yang menjelaskan siapa pria bercelana pendek yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih saat detik-detik Proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno.
"Ini demi pelurusan sejarah. Kasihan kalau sejarah sampai dibelokkan. Makanya, saya siap debat Ilyas Karim. Dia bukan pengerek bendera, melainkan Suhud. Fakta sejarahnya ada dalam buku-buku yang saya simpan," katanya.



















BIOGRAFI SINGKAT AHMAD SUBARDJO DJOYOADISURYO



 Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo
            Soebardjo adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia juga Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Semasa remaja Subarjo sekolah di Hogere Burger School, Jakarta (Setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933. Dalam bidang pendidikan, Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

            Achmad Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Ibu Ahmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.  Ketika menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui organisasi kepemudaan seperti Jong Jawa dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Ahmad Subarjo juga pernah menjadi utusan Indonesia bersama dengan Mohmmad Hatta pada konferensi antar bangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ia bertemu Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 
Karir Ahmad Subarjo terus naik ketika dilantik menjadi Menteri Luar Negeri tanggal 17 Agustus 1945, sekaligus sebagai menteri luar negeri pertama. Kabinet saat itu bernama Kabinet Presidensial, kemudian menjabat Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasionl pada tahun 2009.





















Biografi Sukarni yang Pemberani - Pahlawan Nasional 

 

  Profil Sukarni   


Nama : Soekarni Kartodiwirjo
Tempat Lahir : Blitar, Jawa Timur
Lahir : 14 Juli 1916
Meninggal : Jakarta, 7 Mei 1971 (umur 54)
Makam : Taman Makam Pahlawan Kalibata
Agama : Islam

Warga Negara : Indonesia

   Biografi Sukarni   

Ada seorang pemuda yang bernama sukarni kertowirdjo yang merupakan tokoh pemuda atau golongan muda yang sangat berani terhadap kemerdekaan Indonesia melalui aksi aksinya sebagai anak muda. Ia mengawali kisahnya di biografi sukarni dengan bersekolah di mardisiswa yaitu sejenis taman siswa yang didirikan oleh Mohammad Anwar di Semarang. Ia banyak memperoleh pembelajaran tentang pergerakan bangsa dan negara melalui taman siswa tersebut. Ia termasuk anak yang sangat nakal dan suka sekali berbuat onar di asa kecilnya. Ia sering berkelahi dan tawuran. Bahkan ia sering menantang berkelahi anak-anak keturunan Belanda di kota tersebut.

Biografi sukarni berlanjut dengan ia pernah di masa kecilnya mengajak puluhan temanya untuk mengirim surat tantangan untuk berkelahi bagi anak nak muda Belanda waktu itu. Tantangan itu diterima oleh anak anak Belanda dan akhirnya terjadilah tawuran besar di sebuah kebun raya waktu itu. Akhirnya tawuran dimenangkan oleh kelompok sukarni. Sukarni pun dikeluarkan dari sekolah dan dia tidak menyerah untuk belajar. Ia melanjutkan sekolah di Yogyakarta dan ia juga lalu pindah ke Jakarta untuk bersekolah. Hal ini berkat kak Bung Karno yang lalu memasukkan sukarni ke Sekolah jurnalistik di Bandung.
Biografi kisah sukarni terus berlanjut dengan kisah menarik sukarni lainnya. Salah satu jasa sukarni yang terkenal adalah ketika terjadi peristiwa rengasdengklok. Peristiwa rengasdengklok adalah peristiwa yang terjadi akibat kurangnya pemahaman antara kaum muda dan tua pada waktu itu. Akhirnya sukarni dan kawan-kawannya mencoba mendesak Soekarno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia namun mereka menolak. Akhirnya kaum muda pun menculik keduanya ke rengasdengklok dengan tuan agar menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang.
Selanjutnya biografi sukarni juga membuat banyak kisah heroik sukarni yang sangat gigih dalam melawan pergerakan Belanda melalui aksi-aksinya di kancah politik pemerintah saat ia lalu menjabat sebagai seorang politisi di partai murba yang didirikannya dan diketuai olehnya. Partai ini merupakan partai nasionalis yang membawa perubahan Indonesia lebih baik terutama dalam hal mempertahankan kemerdekaannya. Sukarni bahkan sering dipenjara karena perjuangannya.
Bahkan ketika Soekarni mencoba menasehati Bung Karno tentang gerakan PKI di istana Bogor ia malah ditangkap dan selanjutnya partai ini dibekukan oleh pemerintah. Namun akhirnya setelah sukarni bebas, pembekuan partai ini sudah berakhir lalu partai ini kembali aktif. Jasa sukarni ini lalu dianggap begitu penting hingga akhirnya presiden Joko Widodo memberikan ia gelar bintang mahaputra kelas empat yang ditujukan pada perwakilan keluarganya. 

   Karir Sukarni   

  • Ketua Partai Murba
  • Duta Besar Indonesia di Peking
  • Anggota Badan pekerja KNI Pusat
  • Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1967)

   Penghargaan Sukarni   

  • Bintang Mahaputra kelas empat
  • Pahlawan Nasional
Demikian Biografi Sukarni yang sempat biografipahlawan.com sajikan kepada pembaca. Ia adalah sosok pemuda yang berjuang hingga akhir hayatnya. semoga dapat bermanfaat dan menjadi tauladan atas kegigihannya.





Wahidin Soedirohoesodo

Nama Lengkap : Wahidin Soedirohoesodo
Alias : No Alias
Profesi : Pahlawan Nasional
Tempat Lahir : Mlati, Sleman, Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 7 Januari 1852
Zodiac : Capricorn
Warga Negara : Indonesia

No Relation
BIOGRAFI
Wahidin Sudirohusodo, dr. adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya Wahidin Sudirohusodo selalu dikaitkan dengan organisani Budi Utomo karena meskipun Wahidin Sudirohusodo bukan merupakan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, Wahidin Sudirohusodo menjadi salah satu penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.

Pria yang lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 7 Januari 1852 ini menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di Yogyakarta yang kemudian dia lanjutkan dengan bersekolah di Europeesche Lagere School yang juga berlokasi di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studinya di sekolah tersebut, Sudirohusodo memutuskan untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa atau yang juga dikenal dengan sebutan STOVIA di Jakarta.

Selama hidupnya, Sudirohusodo yang diketahui merupakan keturunan Bugis-Makassar ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila dia disukai banyak orang. Dari pergaulannya inilah, Sudirohusodo akhirnya sedikit banyak mengerti penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai salah satu cara yang bisa dilakukannya untuk  sedikit membantu meringankan penderitaan adalah dengan memanfaatkan profesinya sebagai dokter, selama mengobati rakyat, Sudirohusodo sama sekali tidak memungut bayaran.
Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan dan mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota di Jawa. Para tokoh itu kemudian diajaknya untuk menyisihkan sedikit uang mereka yang nantinya digunakan untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu melanjutkan sekolahnya. Namun sayangnya, ajakan Sudirohusodo ini kurang mendapat sambutan.

Perjuangan Sudirohusodo tidak sampai disitu saja. Di Jakarta, Sudirohusodo mencoba mengunjungi para pelajar STOVIA dan menjelaskan detail gagasannya. Saat itu, Sudirohusodo menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Ternyata gagasan Sudirohusodo ini mendapat sambutan baik dari para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana buruknya nasib rakyat Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin Sudirohusodo sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1917. Jasadnya kemudian dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.
Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh
PENDIDIKAN
  • Sekolah Dasar di Yogyakarta
  • Europeesche Lagere School di Yogyakarta
  • School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)
KARIR
  • Dokter








 Biografi Sayuti Melik: Wartawan Sekaligus Politikus Bangsa 

 

   Profil Sayuti Melik   


Nama : Mohammad Ibnu Sayuti
Tempat Lahir : Sleman, Yogyakarta
Lahir : 22 November 1908
Meninggal : Jakarta, 27 Februari 1989 pada umur 80 tahun
Makam : TMP Kalibata
Agama : Islam
Pekerjaan : Wartawan Politisi
Warga Negara : Indonesia

   Biografi Sayuti Melik   

Bung Karno dan Bung Hatta memang merupakan actor dalam kemerdekaan Indonesia. namun saat menandatangani naskah proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta menuliskan atas nama bangsa Indonesia. dari situlah dapat diketahui jika perjuangan kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh berbagai pihak dan kalangan terutama oleh rakyat Indonesia sendiri. Salah satu pejuang pendukung kemerdekaan adalah sayuti Melik. Kebanyakan orang mengenal Sayuti Melik karena jasa beliau dalam mengetik naskah proklamasi. Berdasarkan Biografi Sayuti Melik, beliau tidak hanya berjasa sebagai pengetik naskah proklamasi. Masih banyak jasa beliau bagi bangsa.
Nama asli beliau adalah Mohammad Ibnu Sayuti. Beliau dilahirkan di Sleman 22 November 1908. Orang tuanya bernama Abdul Mu'in alias Partoprawito dan Sumilah. Istri beliau bernama Soerastri Karma. Istri Sayuti Melik merupakan seorang aktivis perempuan sekaligus wartawan. Dalam Biografi Sayuti Melik disebutkan pendidikan beliau di mulai dari Sekolah Ongko Loro (SD) di Srowolan Solo hanya sampai kelas 4 dan kemudian dilanjutkan di Yogyakarta. Sejak masih muda beliau merupakan penulis yang mampu membuat belanda merasa terganggu, kisah hidup Sayuti melik juga diwarnai dengan penahanan berkali-kali oleh Belanda. Beliau juga pernah di buang di Boven Digul (1927-1933) karena dianggap terlibat dengan PKI oleh Belanda. Selama satu tahun beliau juga pernah ditawan dan dipenjara di Singapore, pada tahun 1937 beliau [ulang ke Jakarta namun dimasukkan ke sel di Gang tengah hingga 1938.

Beliau juga mendirikan koran Pesat di semarang yang segala bagian redaksi hingga percetakan dan penjualan beliau kerjakan sendiri bersama istrinya. Namun mereka tetap tidak terlepas dari pengasingan. Selama menerbitkan koran tersebut, Sayuti Melik atau istrinya bergantian keluar masuk penjara dan pengasingan. Hal itu dikarenakan tulisan mereka yang tajam dan kritis. Pada kependudukan Jepang tepatnya Putera didirikan, atas bantuan Bung Karno Sayuti Melik dan istrinya dapat bersatu kembali. Selain aktif dalam dunia jurnalis, biografi Sayuti melik juga menyebutkan bahwa dirinya juga menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)

Sayuti melik merupakan pemuda ataupun golongan tua yang sangat mendukung segera diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Seokarno dan Hatta di culik dan dibawa ke Rengasdengklok. Penculikan tersebut bertujuan untuk menyakinkan Bung Karno dan Bung Hatta segera menyatakan kemerdekaan Indonesia, ketika Jepang sedang kalah dari sekutu. proklamasi. Setelah terjadi kesepakatan akhirnya naskah proklamasi dirumuskan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di rumah Laksmana Muda Maeda. Biografi Sayuti melik menyatakan bahwa dirinya dan sukarni menjadi sanksi dan membantu mereka dalam merumuskan proklamasi. Atas usul Sayuti melik juga proklamasi ditanda tangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Karier politik Sayuti Melik semakin berkembang. Beliau pernah menjabat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sedangkan pada masa orde baru karier politik Sayuti Melik berkembang menjadi DPR pada tahun 1971 hingga 1977. Beliau meninggal pada 27 Februari 1989. Penghargaan yang beliau dapat adalah Bintang Mahaputra (1961) dan BIntang mahaputra Adiprana pada tahun 1973. 

   Karir Sayuti Melik   

  • Anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

   Penghargaan Sayuti Melik   

  • Menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973)
Demikian Biografi Sayuti Melik yang sempat biografipahlawan.com sajikan kepada pembaca, semoga dapat bermanfaat dan menjadi tauladan atas kegigihannya.



B.M. Diah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
B.M. Diah

Burhanuddin Mohammad Diah
Masa jabatan
25 Juli 1966 – 17 Oktober 1967
Presiden
Didahului oleh
Masa jabatan
17 Oktober 1967 – 6 Juni 1968
Presiden
Digantikan oleh
Informasi pribadi
Lahir
Meninggal
Agama
Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.

Masa kecil
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatera Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.
Melanjutkan sekolah dan bekerja
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, namun ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri, bulanan Pertjatoeran Doenia.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama ia pun merangkap bekerja di Asia Raja. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.

Menikah dan mendirikan "Merdeka"

Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".
Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya sendiri, Harian "Pedoman".
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian "Merdeka" -- bersama Harian "Indonesia Raya" -- dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".















S.K. Trimurti

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Description: Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman iniDescription: tampilkan/sembunyikan detail
S.K. Trimurti

Masa jabatan
3 Juli 1947 – 29 Januari 1948
Presiden
Didahului oleh
Tidak ada
Digantikan oleh
Informasi pribadi
Lahir
Soerastri Karma Trimoerti
11 Mei 1912
Description: Bendera BelandaSolo, Hindia Belanda
Meninggal
Kebangsaan
Suami/istri
Anak
Moesafir Karma Boediman (MK Boediman)
Heru Baskoro
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (selesai;1960)
Surastri Karma Trimurti (lahir 11 Mei 1912 – meninggal 20 Mei 2008 pada umur 96 tahun), yang dikenal sebagai S. K. Trimuti atau S.K. Trimoerti, adalah wartawan, penulis dan guru Indonesia, yang mengambil bagian dalam gerakan kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan oleh Belanda.[1] Dia kemudian menjabat sebagai menteri tenaga kerja pertama di Indonesia dari tahun 1947 sampai 1948 di bawah Perdana Menteri Indonesia Amir Sjarifuddin.

Biografi

Awal Kehidupan

SK Trimurti lahir pada tanggal 11 Mei 1912 di Solo, Jawa Tengah. Dia menghadiri ke Sekolah Guru Putri. Dia pernah menempuh pendidikan di Noormal School dan AMS di Surakarta. Kemudian melanjutkan studinya di Jurusan Ekonomi, Universitas Indonesia (UI).[1]

Gerakan Kemerdekaan Indonesia

Dia menjadi aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia selama tahun 1930, secara resmi bergabung dengan nasionalis Partindo (Partai Indonesia) pada tahun 1933, tak lama setelah menyelesaikan sekolahnya di Tweede Indlandsche School.
Trimurti memulai kariernya sebagai SD guru setelah meninggalkan Tweede Indlandsche School. Dia mengajar di sekolah-sekolah dasar di Bandung, Surakarta dan Banyumas pada 1930-an. Namun, dia ditangkap oleh pemerintah Belanda pada tahun 1936 untuk mendistribusikan anti-kolonial leaflet s. Trimuti dipenjara selama sembilan bulan di Penjara Bulu di Semarang.
Trimurti beralih karier dari mengajar ke jurnalisme setelah dia dibebaskan dari penjara. Dia segera menjadi terkenal di kalangan jurnalistik dan anti-kolonial sebagai wartawan kritis. Trimurti sering digunakan berbeda, disingkat nama samarandari nama aslinya, seperti 'Trimurti atau Karma', dalam tulisan-tulisannya untuk menghindari ditangkap lagi oleh pemerintah kolonial Belanda. Selama karier laporannya, Trimurti bekerja untuk sejumlah surat kabar Indonesia termasuk Pesat, Genderang, Bedung dan Pikiran Rakyat. Dia menerbitkan Pesat bersama suaminya. Dalam era pendudukan Jepang, Pesat dilarang oleh pemerintah militer Jepang. Dia juga ditangkap dan disiksa.

Paska Kemerdekaan

Trimurti, yang adalah seorang advokat terkenal hak-hak pekerja, diangkat sebagai pertama di Indonesia Menteri Tenaga Kerja di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Dia bertugas dalam kapasitas yang dari tahun 1947 sampai tahun 1948. Dia berada di Eksekutif Partai Buruh di Indonesia, dan memimpin sayap wanitanya.
Dia ikut mendirikan Gerwis, sebuah organisasi perempuan Indonesia, pada tahun 1950, yang kemudian berganti nama sebagai Gerwani. Dia meninggalkan organisasi pada tahun 1965. Dia kembali ke perguruan tinggi ketika ia berusia 41 tahun. Dia belajar ekonomi di Universitas Indonesia. Dia menolak janji untuk menjadi Menteri Sosial pada tahun 1959 dalam rangka untuk menyelesaikan gelar sarjana.
Trimurti adalah anggota dan penandatangan Petisi 50 pada tahun 1980, yang memprotes Soeharto penyalahgunaan Pancasila terhadap lawan politiknya. Para penandatangan Petisi 50 termasuk pendukung kemerdekaan Indonesia terkemuka serta pemerintah dan pejabat militer, seperti Trimurti dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Kematian

S. K. Trimurti meninggal pada 06:20 pada tanggal 20 Mei 2008, pada usia 96, di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD) di Jakarta, Indonesia setelah dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Dia telah gagal dalam kesehatan dan terbatas ke kamarnya untuk tahun sebelumnya. Menurut anaknya, Heru Baskoro, Trimurti meninggal karena vena yang rusak. Dia juga telah menderita rendah hemoglobin level dan tekanan darah tinggi.
Sebuah upacara menghormati Trimurti sebagai "pahlawan untuk kemerdekaan Indonesia" digelar di Istana Negara di Jakarta Pusat. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
















Soediro

Sudiro

Masa jabatan
9 November 1953 – 29 Januari 1960
Presiden
Didahului oleh
Digantikan oleh
Masa jabatan
1 Juli 1951 – 1953
Presiden
Didahului oleh
Digantikan oleh
Andi Burhanuddin
Informasi pribadi
Lahir
Meninggal
Kebangsaan
Suami/istri
Siti Djauhari Sudiro[1]
Raden Soediro (Yogyakarta, 24 April 1911 - 1992) adalah politisi pemerintahan di Indonesia. Iadikenal sebagai Walikota (Jabatan setara dengan Gubernur pada saat itu) Jakarta untuk periode 1953–1960 dan Gubernur Sulawesi pada periode 1951–1953.[2][3] Ia mengeluarkan kebijakan pemecahan wilayah Jakarta menjadi tiga kabupaten yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Ia juga yang mengemukakan kebijakan pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) yang kemudian menjadi Rukun Warga (RW).[4][5] Ia meninggal pada tahun 1992.[6] Aktor Tora Sudiro adalah cucunya.

Daftar isi

Karier dalam Pemerintahan

Wali Kota Jakarta

Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/83/Sudiro.jpg/100px-Sudiro.jpg
Potret resmi Sudiro sebagai Wali Kota Jakarta
Sudiro dalam menjalankan tugasnya sebagai Wali Kota begitu sulit, mengingat Jakarta secara de Facto adalah ibu kota Republik Indonesia. Sering terjadi konflik kebijakan antara kebijakan kota dan kebijakan nasional. Pada masa jabatannya, dia menyatakan bahwa ada 3 daerah teritoris utama di Jakarta: Bandara Kemayoran, Pelabuhan Tanjungpriok dan kota satelit Kebayoran Baru. Menteri Perhubungan biasanya mengeluarkan keputusan tentang Bandara Kemayoran tanpa konsultasi dengan Sudiro.[4]
Pada 1957, Sudiro membuat kebijakan sekolah gratis untuk tingkat sekolah dasar (SD), namun kebijakan ini hanya berlaku 1 tahun setelah pemerintah pusat membatalkan kebijakan ini.[4]

Riwayat Pekerjaan

Pekerjaan dalam bidang pendidikan

  • Direktur Mulo-Kweekschool Boedi Oetomo (1931–1933)
  • Ketua Taman Siswa Madiun (1936)
  • Guru Ksatriaan Institut Cianjur (1936–1937)
  • Kepala HIS Gubernemen Curup (1937–1940)
  • Kepala HIS Plaju, Palembang (1940–1942)
  • Inspektur Sekolah-sekolah Balatentara Jepang di Plaju Sungai Gerong (1942–1944)
  • Pemimpin Barisan Pelopor Jawa Hooko Kai Jakarta (1944–1945)

Pekerjaan dalam bidang politik


Potret resmi Soediro sebagai Gubernur Sulawesi
  • Anggota KNIP (1945–1947)
  • Wakil Residen Surakarta (1946–1947)
  • Residen Koordinator Solo-Madiun, Semarang dan Pati (1948–1949)
  • Residen Madiun (1950–1951)
  • Gubernur Sulawesi (1951–1953)
  • Wali Kota Jakarta (1953–1960)
  • Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1978–1983)

Pekerjaan dalam bidang pergerakan

  • Anggota Pengurus Jong Java cabang Yogya (1925–1929)
  • Ketua cabang IM (Indonesia Muda) Magelang (1929–1931)
  • Ketua KBI cabang Magelang (1929–1931)
  • PB Partindo (1931–1935)
  • Wakil Pemerintah Umum Barisan Banteng (1945–1948)
  • Ketua umum Sarekat Sekerja Kementerian Dalam Negeri (1947–1959)
  • Ketua umum Dana Perjuangan Irian Barat (1957–1962)
  • Ketua I Persatuan Wredatama Republik Indonesia (1977)












No comments:

Post a Comment